Sebuah obituarium diri ? obituarium tentang dirimu sendiri ? kamu udah mati? apa mau mati ? Edan..!! celetuk seorang sahabat ketika saya beritahu judul artikel ini. Mungkin memang terdengar aneh, seolah saya sedang merancang dan mempersiapkan tarian kematian untuk diri saya sendiri. Sedang berupaya untuk mencumbu tuts-tuts keyboard ini untuk terakhir kalinya demi sebuah obituarium tentang diri.
Seputus asa itu kah saya dengan kehidupan yang saya jalani sampai saya harus mempersiapkan tarian kematian saya sendiri ? Well, ini memang sebuah obituarium, sebuah berita kematian.. Bukan mati secara klinis, tapi tentang matinya “sifat baik” dari dalam diri sendiri. Matinya kebaikan karena tergusur oleh ego diri yang begitu meraja. Memang jauh lebih berat melawan hawa nafsu, melawan ego sendiri daripada harus berperang dengan musuh yang nyata. Musuh, akan ada jumlah hitungan yang pasti atasnya. Ia akan habis, sirna…terlepas dari bagaimana cara menaklukkan musuh itu. Namun nafsu? ia bisa hadir kapan saja, dimana saja, acap ia menjadi yang alfa untuk menggugurkan upaya kebaikan, meskipun sekecil zarah sekalipun,dengan ketidakmampuan kita untuk mengontrolnya, maka akan begitu cepat ia meracuni pikiran kita, menjadi unsur “pembimbang” yang dominan yang acap menggagalkan upaya baik. Terkadang saya berfikir kenapa harus ada dua hal yang saling berpasangan, bumi-langit,siang-malam..”Kenapa ada sang hitam, bila putih menyenangkan” kata sheila on 7 dalam lagunya.
Mempertanyakan tentang hal ini, otak saya kembali menelisik ke memori masa lalu semasa saya sekolah dulu. Sebuah percakapan dengan seorang guru tentang “kenapa perlu ada dosa”. Dosa juga bikin seseorang belajar tentang decision-making..pengambilan keputusan. Memilih untuk melakukan yang baik-dan yang buruk. Tentu saja, dalam melakukan keburukan, otak seseorang akan diipaksa untuk berfikir lebih jika dibandingkan jika ia melakukan kebaikan. Karena, si “pendosa” harus memikirkan hal-hal lain untuk menutupi keburukan yang ia lakukan, lagi..dan lagi. Sebuah keburukan hanya akan mengantarkan seseorang untuk melakukan keburukan yang lain, memikirkan cara lain. Bandingkan jika kita melakukan sebuah kebaikan yang tulus, tanpa sebuah rencana, sebuah spontanitas, tanpa pamrih,dan tanpa perlu memikirkan kebaikan itu lagi.
Gali lubang tutup lubang, begitulah mungkin ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan seseorang yang melakukan sebuah keburukan, sebuah dosa. Dan bagaimana jika ia tidak mampu menemukan “lubang” untuk menutupi lubang sebelumnya ? Batinnya akan tertekan, hatinya tidak akan merasakan kenyamanan, sederhananya seperti itu. Jadi ? intinya, setiap pilihan itu pasti akan memberikan konsekuensi, tinggal konsekuensi mana yang akan anda ambil. Dosa itu perlu, Biar orang belajar untuk bertanggung jawab atas pilihan yang ia putuskan.
Lalu, apakah obituarium ini sebagai pertanda bahwa saya telah terkalahkan oleh “ego saya sendiri”, lalu ego yang mana yang berhasil mengalahkan saya ? Banyak dan sering. Sebagai seorang manusia biasa yang teranugerahi “nafsu”, acap nafsu itu mengambil alih, ketidakberdayaan saya mengontrol ego itu begitu sering terjadi. Saya, anda, kita..saat ini sedang berjuang, berjuang melawan nafsu..berjihad melawan nafsu diri. Obituarium ini bukanlah kibaran bendera putih tanda kalah dan menyerah pada nafsu. Hanya sekilas mengingat tentang kematian. Matinya nurani, matinya jiwa baik yang terbunuh oleh nafsunya sendiri, kepentingan diri sendiri.
Sudah saatnya saya,anda,kita semua untuk bangkit dari kematian. Bangkit dari mati suri, bangkit dari kondisi diam, tidak bergerak. Kondisi yang terlihat seolah nurani telah mati, namun sebenarnya tidak. Ia hanya diam, sebuah stagnasi. Kekalahan atas ego. Bangkit dari keterpurukan, dan dengan semangat kebaruan yang lebih baik lagi, kita jadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.