Sudahlah, berhenti mempertanyakan eksistensi Tuhan

       Dulu dalam mata kuliah Pendidikan Agama, di dalam kelas sedang ada sebuah presentasi (entah masih kabur dalam benak saya untuk menyelisik memori masa lalu saya tentang apa yang di presentasikan). Yang jelas, pertanyaan konyol dalam pikiran saya muncul kala giliran kelompok teman saya melakukan presentasi. Adalah saya dalam ruang kelas itu, satu satunya orang yang berani mengajukan pertanyaan konyol ini. Entahlah, mungkin semacam ingin sebatas melihat sudut pandang teman saya itu atau ini upaya saya untuk menjatuhkannya. “Mas, kenapa anda melakukan  shalat ? Apakah ini  karena benar-benar ketaatan anda akan Tuhan, ataukah hanya sebatas ketakutan anda atas doktrin tentang adanya surga dan neraka ?? Mari kita berandai-andai, seandainya..ini seandainya lho mas, kalau misalkan surga dan neraka itu tidak benar-benar ada..apakah anda masih akan terus beribadah ?”

        “Insya Allah karena ini bentuk ketaatan saya mas” ungkapnya walaupun masih saya rasakan bahwa dia sedikit meragu dengan jawabannya. Wajahnya kecut, dahinya mengernyit, terlihat jelas begitu besar upayanya untuk menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan saya itu. Sempat sesekali dia menyeka dahinya. Kelas pun berubah hening, khawatir akan pertanyaan lain yang lebih menjebak, dia pun menutup presentasinya dengan ucapan terima kasih dan di ikuti dengan salam. “Wah, sudah ada ciri-ciri orang sekuler ini nampaknya”. Timpal dosen saya sejurus kemudian. Saya hanya tersenyum, “Tidak pak, saya hanya ingin mematikan argumennya saja. Argumennya terkesan begitu ilmiah untuk hal yang bersifat transendental..untuk sesuatu yang hanya bisa kita percayai tanpa perlu memikirkan tentang keilmiahannya”. Tandas saya dalam hati. Sesekali saya melirik teman di samping kiri saya, karena saya tahu, dialah sejatinya orang yang paling sekuler dalam ruangan itu. Dia adalah orang yang dengan lugas bercerita bahwa dia tidak pernah beribadah. Wajahnya nampak begitu semringah ketika mendengar pertanyaan saya. Sebenarnya, secara tidak langsung saya juga ingin memaksa teman di samping kiri saya ini untuk mengeluarkan pendapatnya.

       “Begini mas, Tuhan itu maha transenden..ini berarti bahwa eksistensi Tuhan itu di luar kuasa manusia untuk menjelaskan. Pengetahuan sehebat apapun di dunia ini tidak akan mampu menjelaskan, karena bukan kapasitas manusia untuk menjelaskan dengan begitu gamblangnya. Kita hanya diberi kemampuan untuk mempercayainya saja. Tidak ada ruginya kan mempercayai sesuatu ? apa susahnya untuk melakukan itu ? Sekarang begini saja, coba anda letakkan tangan anda di dekat hidung dan mulut anda. Perhatikan dengan seksama, sekarang tiup tangan anda itu. Apa yang anda rasakan ? Sejuk ya ? Apa anda melihat ketika udara itu menyentuh tangan anda ? Tidak kan ?  Apakah kemudian anda menyimpulkan bahwa udara itu tidak ada karena ketidakmampuan anda untuk melihat bentuk fisiknya ? Tidak ? Udara itu ada kan ? Begitu pula dengan Tuhan. Meskipun kita tidak memiliki kemampuan untuk melihat eksistensinya, namun kita harus percaya bahwa Tuhan adalah benar adanya”.

        Saya jadi ingat sebuah kisah mas. Dahulu kala ada seorang penjual arang yang terkenal begitu bijaknya sampai orang-orang datang untuk meminta pencerahan atas masalah kehidupannya dengan si penjual arang tersebut. Suatu ketika, datang seorang pemuda yang menanyakan tentang apa pentingnya berdoa. Si penjual arang pun terdiam, ia kemudian menyodorkan karung usang yang begitu kotor yang ia gunakan untuk mengangkut arang. Sesaat kemudian ia berkata pada si pemuda untuk mengangkutkan air di danau itu dengan karung yang di berikan oleh si penjual arang tersebut. Tanpa berargumen, si pemuda itu pun menjalankan tugasnya. Dari pagi hingga senja menjelang, tak satu tetes pun air yang berhasil ia kumpulkan. Lelah mencoba, si pemuda ini pun kembali ke penjual arang. “Bagaimana bisa saya mengangkut air dari karung yang penuh dengan lubang?” ungkap si pemuda. “Apakah engkau perhatikan bagaimana karung tadi ?” tanya si penjual arang. “Kotor dan hitam” jawab si pemuda. “Lalu bagaimanakah karung itu sekarang ?” si penjual arang kembali bertanya. “Karung ini menjadi bersih”.  Jawab si pemuda sejurus kemudian. “Seperti itulah doa, tidak peduli paham atau tidaknya dengan makna doa yang engkau ucapkan, tapi pada akhirnya hatimu akan kembali bersih seperti karung itu. Meskipun pada awalnya hatimu itu kotor ternodai dengan begitu banyak dosa dan kesalahan. Tapi ketika engkau yakin dan percaya. Pada akhirnya doa mu yang tulus itu akan membersihkan hatimu dari dosa-dosa dan kesalahan yang engkau perbuat” jelas si penjual arang.

       “Jadi seperti itu mas, sama halnya dengan kisah penjual arang tersebut. Tak peduli dengan ada tidaknya surga dan neraka, ketika kita rajin beribadah dengan segala ketulusan kita. Suatu saat nanti, ketika kita tahu bahwa surga dan neraka itu tidak benar-benar ada. Maka sesungguhnya kita tidaklah merugi atas ibadah kita. Namun, ketika surga dan neraka itu benar-benar ada. Maka surga itu adalah suatu bentuk hadiah atas ketaatan kita dalam beribadah. Sudahlah, berhentilah mempertanyakan eksistensi Tuhan. Percaya saja. Biarkan itu tetap menjadi sesuatu yang transenden, yang tiada mampu dijabarkan oleh ilmu pengetahuan apapun. Biarkan itu menjadi sesuatu yang harus kita percaya tanpa harus mempercayakan keilmiahannya”. Jelas dosenku kemudian.

     Saya pun segera mengiyakan, anggukan tegas tanda setuju. namun kemudian ketika saya melirik ke arah teman saya itu, wajahnya mulai kecut. Seakan ada jutaan pertanyaan yang tertahan di mulutnya namun tiada mampu ia ungkapkan. Sudahlah kawan, berhentilah mempertanyakan eksistensi Tuhan.. Percayalah bahwa Tuhan itu benar adanya.

About robofics

Adalah seorang yang masih terus berupaya mencari makna dari kehidupan. Penikmat sastra, seorang plegmatis. Seorang pembelajar dari universitas kehidupan.
This entry was posted in renungan and tagged , , . Bookmark the permalink.

4 Responses to Sudahlah, berhenti mempertanyakan eksistensi Tuhan

  1. Pingback: Iblis Di Masukkan ke Dalam Neraka Merupakan Hukuman ? Atau Anugerah | Universitas kehidupan

  2. me, says:

    saya percaya adanya Tuhan. meskipun masih sering mempertanyakan.
    oh, tulisan kamu merecharge saya supaya kembali percaya (lagi) :))

    Like

Balas komentar